Senin, 07 Juni 2010

PENILAIAN DIRI

A. Pendahuluan

Dalam puisi taufik Ismail “penalaran otak orang itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodoh umat kerbau, kita tidak curang dan serakah”. Pernyataan ini sesuai dengan realitas kita dalam kehidupan sehari-hari bahwa semakin kita pandai semakin pintar kita dalam menemukan kebenaran menjadikan kita semakin tidak terkontrol dalam perbuatan. Apakah manusia yang punya penalaran tinggi lalu makin berbudi, sebab moral akan dilandasi oleh sikap dasar alamiah manusia yang selalu tidak merasa puas.

Penilaian terhadap diri sendiri menjadi suatu pembelajaran bagi saya pribadi: apakah perkuliahan mata kuliah Filsafat Ilmu dapat memberikan pengaruh/perubahan pada saya secara afeksi, kognisi, dan psikomotorik?. Pertanyaan ini menjadi menarik takkala jawaban pertanyaan ini akan dijawab sendiri oleh penulisnya. Karena dia dapat saja untuk memanipulasi jawabannya menjadi baik semua dan menyatakan bahwa diri terpengaruh oleh mata kuliah tersebut. Tapi inilah seninya jadi tetap akan bergantung kepada dosen pengampu mata kuliah tersebut untuk memberikan pandangannya terhadap apa yang penulis tulis untuk menilai dirinya sendiri.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas maka saya menggunakan metode Library Research dengan ditambah menurut pandangan/pemikiran saya. Selanjutnya kenyataannya/faktanya akan saya paparkan pada pembahasan pra perkuliahan mata kuliah Filsafat Ilmu, pelaksanaan perkuliahan mata kuliah dan pasca perkuliahan secara tidak menyimpang dari kebenaran yang ada.

Memang tidak semua orang menyadari bahwa setiap saat kita selalu melakukan pekerjaan evaluasi. Dalam beberapa kegiatan sehari-hari, kita jelas-jelas mengadakan pengukuran dan penilaian. Dari hal tersebut kita menemukan tiga istilah yaitu evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Sementara orang memang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut sebagai sautu pengertian yang sama sehingga dalam memakainya hanya tergantung dari kata mana yang sedang siap untuk diucapkannya.

Untuk dapat mengadakan penilaian, kita mengadakan pengukuran terlebih dahulu. Dua langkah kegiatan yang dilalui sebelum mengambil barang untuk kita, itulah yang disebut mengadakan evaluasi, yakni mengukur dan menilai. Kita tidak dapat mengadakan penilaian sebelum kita mengadakan pengukuran.

Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Mengadakan evaluasi meliputi kedua langkah di atas, yakni mengukur dan menilai. Di dalam istilah asingnya, pengukuran adalah measurement, sedang penilaian adalah evaluation. Dari kata evaluation inilah diperoleh kata Indonesia evaluasi yang berarti menilai (tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu) (Arikunto, Suharsimi. 2002 : 1-3). Menurut Zainul, pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang jelas (Jihad, Asep dan Haris, Abdul, 2008 : 54).

Penilaian dalam pembelajaran Prof. Dr. Warsono, MS pada mata kuliah Filsafat Ilmu terjadi karena ada beberapa sebab antara lain yaitu kurang pekanya mahasiswa dalam mengenali gaya mengajar dari dosennya, mahasiswa merasa bahwa tugas adalah indikator penilaian yang wajib dilaksanakan, dan mahasiswa belum mampu beradaptasi dengan gaya pembelajaran di Pascasarjana. Padahal sebenarnya yang ideal dari pembelajaran Prof. Dr. Warsono, MS selama ini adalah tidak pernah mengukur mata kuliah dengan tugas tertentu. Disini mahasiswa seharusnya tidak bersikap meminta sesuatu yang diluar kendalinya maksudnya adalah mahasiswa tidak memaksa seorang dosen untuk merubah gayanya dalam pembelajaran.

Saya juga seorang dosen yang mempunyai pandangan yang tidak pernah memakai Ujian Tengah Semester saya lebih berfokus pada pembuatan makalah kelompok ataupun individu untuk kemudian didiskusikan dipresentasikan di depan kelas. Karena saya berpendapat bahwa dengan hal itu mereka lebih dapat mengembangkan sikap afeksi, kognisi, dan psikomotor tidak hanya mengembangkan sisi kognisi nya.

Memang suatu program pendidikan, pengajaran atau pun pelatihan pada umumnya diadakan penilaian. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu program pendidikan, pengajaran ataupun pelatihan tersebut telah dikuasai oleh pesertanya atau belum. Angka atau nilai tertentu biasanya dijadikan patokan (passing grade) untuk menentukan penguasaan program tersebut. Jika dianggap telah menguasai maka ia dinyatakan lulus, sebaliknya jika dianggap belum menguasai maka ia dinyatakan tidak lulus.

B. Konsep Dasar Penilaian

Berdasarkan konsep Depdiknas, penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan guru/dosen untuk memperoleh informasi secara objektif, berkelanjutan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang dicapai siswa, yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan selanjutnya (Jihad, Asep dan Haris, Abdul, 2008 : 54). Hal ini berarti penilaian tidak hanya untuk mencapai target sesaat atau satu aspek saja, melainkan menyeluruh dan mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotor. Penilaian memang sudah seharusnya memandang kepada semua aspek karena ini juga sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Karena itu menurut Grondlund menyatakan penilaian sebagai proses sistematik pengumpulan, penganalisaan dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa/mahasiswa mencapai tujuan (Jihad, Asep dan Haris, Abdul, 2008 : 54).

Penilaian merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pengajaran. Kegiatan ini merupakan salah satu dari empat tugas pokok seorang guru/dosen. Keempat tugas pokok guru/dosen tersebut adalah merencanakan, melaksanakan, menilai keberhasilan pengajaran, dan memberikan bimbingan. Jadi seorang pengajar tidak hanya memberikan nilai tapi dilebih diharapkan memberikan bimbingan kepada peserta didik agar berusaha lebih untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang akhirnya secara tidak langsung akan berdampak pada penilaian itu sendiri.

Terhadap seluruh komponen kegiatan proses belajar mengajar penilaian memberikan sumbangan yang cukup berarti. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), fungsi penilaian digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan proses pembelajaran, acuan untuk menentukan kenaikan kelas dan kelulusan, alat untuk menyeleksi, alat untuk penempatan, dan alat untuk memberikan motivasi belajar siswa. Setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan nilai yang terbaik dengan usaha bimbingan dari seorang pengajar dan pendidik.

Menurut Goldstein, upaya pengukuran hasil belajar sepanjang perkembangannya, bila dilihat dari sudut pendidikan, dapat dipisahkan menjadi dua pendekatan, yaitu asesmen yang berhubungan dengan pembelajaran (connected assessment) dan asesmen yang terpisah dari pembelajaran (separated assessment). Connected assessment lebih jauh dibedakan menjadi asesmen yang menyatu dengan proses pembelajaran, yang acapkali dikenal sebagai asesmen formatif dan asesmen sebagai kegiatan akhir dari suatu proses pembelajaran yang dikenal dengan asesmen sumatif. Separated assessment memang secara sengaja diuapayakan untuk tidak terkait dengan suatu proses pembelajaran tertentu, tetapi bermanfaat untuk memahami dan merancang pembelajaran atau membantu para pendidik dan ahli memahami suatu proses pemahaman dalam pembelajaran. Tes IQ adalah salah satu jenis asesmen yang terpisah tersebut (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007: 195).

C. Ilmu dan Moral

Selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan. Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi alam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.

Ilmu yang bebas nilai adalah inti dari pandangan yang saya tangkap dari setiap pertemuan/tatap muka perkualiahan Filsafat Ilmu yang disampaikan oleh Prof. Dr. Warsono, MS. Nabi Muhammad SAW. pun menginginkan apabila ada masalah yang mudah jangan membuat pertanyaan atau mengajukan pertanyaan yang akan membuat masalah itu menjadi semakin berat. Jadi artinya suatu ilmu sebenarnya tidak perlu dinilai dengan suatu tugas atau membuat makalah tapi apakah ilmu yang telah disampaikan oleh seseorang itu dapat diterima atau ditransferkan dengan baik kepada orang lain.

Ilmu dan pengetahuan yang dikatakan berhasil bila dapat diserap dan dilaksanakan untuk bersosialisasi ke masyarakat sekitarnya karena peserta didik (siswa/mahasiswa) telah mendapatkan tambahan ilmu dan pengetahuan dari orang-orang yang dianggap telah menguasainya. Artinya pembelajaran harus bermakna seperti pandangan David Ausebel. Tidak hanya sekedar diajarkan tapi tidak dimengerti dan dipahami secara keseluruhan.

Ilmu dan moral sudah berada pada saat bumi ini belum tercipta dan hanya dipunyai oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai transdensi bahwa Dialah Maha Kuasa atas semua makhluk dan alam seisinya.

D. Penilaian Diri (Self Assessment) Kajian Afeksi, Kognisi, dan Psikomotor

Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian di mana peserta didik (siswa/mahasiswa) diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran atau mata kuliah tertentu. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi afektif, kognitif, dan psikomotor.

1. Penilaian Kompetensi Aspek Afeksi

Membahas perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Peserta didik (siswa/mahasiswa) dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Selanjutnya diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan criteria atau acuan yang telah disiapkan.

2. Penilaian Kompetensi Aspek Kognisi

Membahas perubahan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Peserta didik (siswa/mahasiswa) diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran atau mata kuliah tertentu. Didasarkan atas criteria atau acuan yang telah disiapkan.

3. Penilaian Kompetensi Aspek Psikomotor

Membahas perubahan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Peserta didik (siswa/mahasiswa) diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan criteria atau acuan yang telah disiapkan.

Dengan menggunakan teknik penilaian ini diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri, menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik (siswa/mahasiswa) untuk berbuat jujur dan objektif.

a) Pra Perkuliahan Filsafat Ilmu

1. Aspek Afeksi

- Masih kurang bisa mengendalikan emosi dalam setiap kegiatan baik formal, non formal maupun informal.

- Belajar bersikap lebih baik dan sopan dalam menghadapi masalah atau kegiatan apapun.

- Belum cukup kemampuan bersosialisasi dengan sesama peserta didik dan masayrakat sekitarnya.

2. Aspek Kognisi

- Berpikir masih suka tergesa-gesa, kurang sistematis/runtut dan kurang senang terhadap mata kuliah yang menghapal.

- Dalam mengerjakan atau memecahkan suatu masalah sekarang ini lebih mendahulukan perasaan baru logika.

- Berpikir kritis tapi menyakitkan perasaan orang lain atau menyinggung perasaan orang lain.

3. Aspek Psikomotor

- Tidak disiplin dalam berlatih karena senang kebebasan bergerak hasil tidak maksimal.

- Kurang mendayagunakan kemampuan otak kiri dan otak kanan.

- Bekerja masih kurang teliti atau kurang seksama memeriksa hasil pekerjaan

b) Selama Perkuliahan Filsafat ilmu

1. Aspek Afeksi

- Saya dapat untuk memperbaiki pengendalian emosi saya lewat buku-buku filsafat baik filsafat ilmu, pendidikan, dan agama serta tentang ilmu pengetahuan itu sendiri antara lain bahwa kepribadian harus lebih menekankan pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri, harus lebih mendalami agama yang dianut secara maksimal, dan harus bias berbaur dengan masyarakat setempat yang berdasarkan aturan norma adat istiadat.

- Belajar dalam bersikap dengan cara lebih mengedapankan kesopanan dan tata karma kehidupan masyarakat misalnya lebih sering memberikan salam terlebih dahulu kepada yang lebih tua, menciptakan kondisi yang harmonis dalam hubungan antara yang muda dan tua.

- Belajar mengetahui aturan norma adat istiadat dari lingkungan internal Universitas Negeri Surabaya dan masayrakat Surabaya sendiri.

2. Aspek Kognisi

- Banyak masukkan dari Cara Prof. Dr. Warsono, M.Sc dalam pembelajaran mata kuliah Filsafat Ilmu antara lain bagaimana pandangan beliau dalam memberi penilaian, memberikan tugas, dan memberikan tanggungjawab pribadi untuk tugas belajar mandiri.

- Ternyata masyarakat Indonesia terbiasa mendahulukan perasaan daripada logika/rasionalitas tidak seperti orang barat yang lebih mengkedepankan logika/rasionalitas dalam mengambil keputusan atau berpikir memecahkan masalah.

- Egoisme memang selalu dominan dalam kita berpikir yang pada akhirnya kita tidak berpikir tenggang rasa kepada sesama manusia, menjadikan pergaulan tidak kondusif dan harmonis, dan merusak hubungan silahturahim.

3. Aspek Psikomotor

- Kebiasaan Prof. Dr. Warsono, M.Sc dalam pembelajaran mata kuliah Filsafat Ilmu, interaksi komunikasi dengan teman-teman dan civitas akademika lainnya antara lain: memberikan penjelasan secara mendalam pada setiap pertanyaan/permasalahan yang muncul dalam setiap pertemuan/tatap muka, menjawab berdasarkan rasionalitas dan literatur, dan membaca suatu buku harus dengan mengerti apa yang menjadi inti pemikiran penulisnya atau menangkap apa pikiran yang disampaikan oleh penulis.

- Kebiasaan selalu menghapal cenderung saya kurangi untuk lebih bisa merencanakan dan menganalisis suatu pertanyaan atau permasalahan.

- Memberikan hiburan musik, membaca majalah atau Koran, dan menonton film agar pikiran lebih bisa bekerja secara maksimal.

c) Pasca Perkuliahan Filsafat Ilmu

1. Aspek Afeksi

- Mulai terbiasa mengendalikan emosi dalam setiap tindakan dan keputusan yang akan diambil baik untuk yang penting, mendesak (urgen) dan tidak mendesak.

- Terbiasa bersikap memperlakukan orang yang lebih tua untuk dihargai karena pengalaman hidupnya.

- Disiplin dalam mengikuti aturan norma adat istiadat bila berada dalam berbagai lingkungan baik di lingkungan internal Universitas Negeri Surabaya maupun masyarakat Surabaya.

2. Aspek Kognisi

- Setiap tindakan dan keputusan yang akan diambil mulai terbiasa dipikirkan terlebih dahulu untuk ditata terlebih dahulu runtutannya keteraturannya tidak meloncat-loncat sistematis sehingga menghasilkan suatu karya yang baik dan dalam menilai seseorang menjadi lebih hati-hati.

- Berusaha lebih baik dalam berpikir untuk mengedepankan logika rasionalitas daripada perasaan untuk memecahkan setiap persoalan yang muncul.

- Berusaha memahami realitas/kenyataan yang melatarbelakangi suatu permasalahan berdasarkan situasi dan kondisi yang ada di lapangan.

- Menekan egois untuk menjadi orang yang lebih bijaksana dalam setiap tindakan dan perbuatan yang akan dilakukan.

3. Aspek Psikomotor

- Berusaha untuk mencapai sesuatu kegiatan dengan semaksimal mungkin terlebih dahulu baru mengerjakan yang lain, menjadi lebih disiplin dan terfokus tanpa mengurangi kebiasaan saya dalam bekerja yaitu berusaha menyelesaikan sesuatu secepat mungkin dan baik.

- Lebih belajar untuk menganalisis suatu permasalahan terlebih dahulu secara cepat dan sistematis.

- Menciptakan keseimbangan dalam otak untuk bekerja memaksimalkan otot-otot psikomotorik untuk lebih teliti, cermat, dan rapi.

Semua aspek yang telah dikaji atau dibahas merupakan realitas atau kenyataan yang ada pada diri saya meskipun belum semuanya dapat terungkap dalam tulisan ini tai paling tidak saya telah berusaha secara maksimal untuk menampilkan diri saya seutuhnya sebagai mahasiswa yang belajar untuk menilai dirinya sendiri secara jujur. Karena inti dari penilaia diri (self assessment) adalah bagaimana meramu antara teori yang ada dengan kondisi dilapangan apakah sudah sesuai atau belum. Kalau sudah sesuai harus berusaha menjadi lebih baik lagi, kalau belum berusaha untuk memperbaikinya. Nabi SAW bersabda “belajarlah atau galilah ilmu sampai ke negeri cina” artinya bahwa belajar baik untuk menjadi lebih baik atau belajar untuk memperbaiki keadaan tidak bergantung pada waktu, umur/usia, dan tempat.

Proses pendidikan haruslah dimulai dengan membentuk hubungan antara pendidik dan peserta didik sebagai teman belajar, bukan sebagai guru/dosen dan murid/mahasiswa, dalam arti orang yang tahu dan orang yang tidak tahu. Disinilah terletak peran penting asesmen pendidikan yang berusaha melakukan umpan balik yang bermakna kepada peserta didik, ketimbang memberi keputusan sebagai hukuman atau hadiah.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Jihad, Asep dan Haris, Abdul. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta : Multi Pressindo

Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds). 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia Press

Pascasarjana Unesa. 2008. Buku Pedoman Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya

Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan (Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional Pengembangan Afeksi dan Budaya Pancasila Mengurangi Lulusan Menganggur). Surabaya : Unesa University Press

Suriasumantri, Jujun. S. 2003. Filasafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer). Jakarta : Sinar Harapan

Sabtu, 05 Juni 2010

TUGAS FILSAFAT

I. Hakekat Ilmu Pendidikan
A. Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan muncul dan disyahkan pada tahun 1925 di eropa atau tepatnya di Belanda di bawah tokoh Langeveld. Ilmu pendidikan ini disamping sudah bersifat ilmiah, juga teratur, sistematis, dan merupakan suatu kebulatan. Ciri Ilmu Pendidikan seperti ini cocok dijadikan alat untuk mengembangkan peserta didik di Negara-negara yang memiliki tujuan pendidikan yang bersifat tetap, seperti Eropa, khususnya Belanda dan di Indonesia (Pidarta, Made, 2007:3-4).
Ilmu Pendidikan bersifat ilmiah karena dia mampu menjawab secara pasti masalah-masalah pendidikan mulai perencanaan/disain pembelajaran, media pembelajaran, peserta didik, pendidik, assemen, evaluasi berdasarkan teori-teori atau konsep-konsep pendidikan yang telah ada. Teratur berarti Bahwa ilmu pendidikan mempunyai pedoman/standar operasional dalam perencanaan/disain pembelajaran, media pembelajaran, peserta didik, pendidik, assemen, evaluasi. Sistematis berarti ilmu pendidikan sudah mempunyai perangkat hukum/perundang-undangan misalnya di Indonesia antara lain: UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PPRI Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Kebulatan berarti semua sifat ilmu pendidikan saling mendukung dan tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Jadi ilmu pendidikan bisa diibaratkan sebagai hukum adat masyarakat daerah setempat artinya hukum adat dibuat oleh masyarakat itu sendiri, untuk masyarakat itu juga. Jadi ilmu pendidikan harus bisa dipahami, dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak yang terkait mulai dari pembuat landasan perangkat hukum/perundang-undangannya, pihak-pihak pelaksana instansi/departemen yang bersangkutan, peserta didik, dan pendidiknya, lembaga/yayasan, sekolah-sekolah dasar menengah, perguruan tinggi.
Ilmu pendidikan mengkaji hakekat dan aktivitas manusia terutama mencakup (1) perkembangan dan perwujudan fitrah dan seluruh potensi manusia sepanjang hayat yang terjadi dalam setiap unit kehidupan yang difasilitasi dalam berbagai jalur, jenis, jenjang, dan satuan pendidikan; (2) pertumbuhan kepribadian yang utuh dan seimbang; (3) pendewasaan manusia dalam mencapai kebaikan dan kemashalatan hidup dunia dan akhirat; (4) pemanusiaan manusia; (5) penghalusan budi dan pembinaan akhlak mulia agar memancarkan sinar ilahiah; dan (6) pembangunan kualitas pribadi dan kecerdesan manusia, serta karakter bangsa (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:1).
Artinya (1) bahwa manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik dan phisikis/kejiwaan. Individu yang tumbuh dan berkembang itu ditampung oleh pemerintah untuk meningkatkan kemampuaan diri dalam semua aspek baik afeksi, kognisi, dan psikomotor dalam PAUD, sekolah dasar dan menengah serta perguruan tinggi; (2) bahwa individu tidak boleh melewati masa pertumbuhan dan perkembangan yang telah banyak di teorikan oleh para ahli psikologi; (3) Individu yang berkembang dan tumbuh secara maksimal pasti melewati berbagai pengalaman hidup yang akan mendewasakannya kelak; (4) Individu merasa dihargai dan diterima sebagai salah satu komunitas dari mereka; (5) Pengasahan aspek afeksi yang berdasarkan norma-norma dan adat istiadat masyarakat akan mencerminkan kepribadiannya (6) Pembangunan menyeluruh tentang individu-individu dan pemerintah dapat memfasilitasinya secara memadai (yang penting semua ada biarpun kondisinya masih standar) akan menciptakan karakter bangsa Indonesia yang mandiri dan bersahaja di mata dunia.
Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang mandiri (otonom) yang memiliki akar kuat dalam agama dan filsafat. Inti dari ilmu pendidikan adalah paedagogik (paedagogik) atau ilmu mendidik (Langeveld, 1955) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:1). Ilmu pendidikan berkembang bersama-sama dengan filsafat dan ilmu-ilmu dasar, yaiu psikologi, sosiologi, dan antropologi. Integrasi dan saling menguatkan antara disiplin ilmu pendidikan dengan filsafat dan disiplin ilmu dasar itu melahirkan ilmu pendidikan teoritis, termasuk filsafat pendidikan, sejarah pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, ilmu mendidik (paedagogik-andragogik), teori dan pengembangan kurikulum, teori pembelajaran, teori bimbingan dan konseling, serta teori manajemen pendidikan, teori dan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan, serta teori dan landasan penelitian pendidikan. Ilmu Pendidikan teoritis dijadikan landasan bagi praksis pendidikan yang berkembang menjadi ilmu pendidikan praktis (Pribadi, 1970:3) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:2).
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu pendidikan praktis bergandengan dengan ilmu-ilmu lain, yaitu ilmu social, ilmu kealaman, ilmu keteknikan, dan humaniora, beserta cabang-cabangnya. Integrasi dan saling menguatkan antara ilmu pendidikan, melalui ilmu pendidikan praktis dengan ilmu lain, melahirkan pendidikan disiplin ilmu, seperti pendidikan ilmu sosial, pendidikan ilmu kealaman, pendidikan matematika, pendidikan bahasa, sastra dan seni, pendidikan teknologi, pendidikan jasmani dan olah raga, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan agama islam, dan sebagainya. Deskripsi yang dikemukakan di atas merupakan pohon disiplin ilmu pendidikan (UPI, 2005:6-8) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:2).
Berbagai Cabang Ilmu Pendidikan Diterapkan menurut:
Jenis Pendidikan
Jalur Pendidikan
Ciri Peserta Didik
Sistem Penyampaian
Jenjang Pendidikan
I
L
M
U

L
A
I
N
N
Y
A*
ILMU PENDIDIKAN PRAKTIS
- Pedagogik
Praktis
- Peng.
Kurikulum
- Pengajaran
- Pembelajaran
- Teknologi Pend.
- Bimb. & Kons.
- Manajemen
Pend.
- Evaluasi Pend.
- Penelitian Pend.
ILMU PENDIDIKAN TEORITIS
- Filsafat Pendidikan
- Psikologi Pendidikan
- Sosiologi Pendidikan
- Antropologi Pendidikan
- Pedagogik Pendidikan
- Teori Adm. Pendidikan
- Teori Kurikulum
- Teori Pembelajaran
- Teori Pengukuran
- Teori Konseling
- Teori Penelitian
PENDIDIKAN DISIPLIN ILMU
- Pendidikan IPS
- Pendidikan IPA
- Pend. Matematika
- Pend. Bahasa
- Pend. Manajemen
- Pend. Ekonomi
- Pend. Olahraga
- Pend. Teknologi
- PAI dan PKN
I
L
M
U

L
A
I
N
NYA*










ILMU PENDIDIKAN
FILSAFAT
AGAMA
Bagan 1. Pohon Ilmu Pendidikan

B. Perkembangan Ilmu Pendidikan dan Keterkaitannya dengan Ilmu-Ilmu lain
Kehadiran ilmu adalah kehendak Allah SWT (Al-Quran, 2:31) dan muncul melalui hasil budaya manusia sejak kehadiran manusia pertama, sebagaimana tercantum dalam wahyu Allah SWT. Awal kehadiran ilmu pendidikan (education), ilmu pengetahuan alam (sciences atau natural sciences), ilmu pengetahuan social (social sciences), dan ilmu humaniora (Humanities) berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut dibutuhkan oleh manusia dan pada dasarnya ada dalam setiap diri manusia (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:7).
Ilmu pendidikan, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu humaniora berada dalam bingkaian ad-Din (agama islam). Ilmu-ilmu tersebut merupakan wahana utama untuk membumikan kaidah-kaidah wahyu Allah SWT. dalam kehidupan manusia guna membina kemakmuran di atas bumi ini. Upaya memperoleh ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan sejak dalam buaian sampai ke liang lahat (Al Hadist). Inilah yang menjadi landasan pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan belajar sepanjang hayat (life-long learning) yang sepatutnya dilakukan oleh manusia (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:8).
Sebagai hasil budaya manusia, kehadiran filsafat dan agama (agama/kepercayaan yang dibuat manusia) merupakan produk perenungan (contemplation). Filsafat dipandang juga sebagai induk kehadiran ilmu. Kehadiran ilmu pengetahuan alam (sciences), ilmu pengetahuan social (social sciences), dan ilmu humaniora (humanities) adalah hasil pemikiran dan pengalaman (experiences) manusia. Ilmu pengetahuan alam hadir melalui pengamatan dan eksperimen yang mencakup fisika, biologi, kimia, fisiologi, astronomi, geologi, dan sebagainya. Sebagai akibat interaksi antara filsafat (perenungan/pemikiran) dan ilmu pengetahuan alam, lahirlah ilmu pengetahuan sosial yang mencakup sejarah, hukum, ekonomi, politik, psikologi, antropologi, sosiologi, geografi, dan sebagainya. Hubungan antara filsafat dan agama dengan ilmu pengetahuan sosial melahirkan ilmu humaniora yang mencakup budaya, bahasa, sastra, seni, komunikasi, dan sebagainya. (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:8-9).
Kehadiran ilmu pendidikan (education) adalah hasil pemikiran dan pengalaman manusia yang berawal dari penyampaian pesan melalui suruhan dan perintah (order atau command), kemudian terjadi peniruan (imitation), dan akhirnya menumbuhkan kesengajaan (initation) (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:9).
Ilmu pendidikan mencakup ilmu pendidikan teoritik dan ilmu pendidikan praktik. Ilmu pendidikan teoritik terdiri atas kajian-kajian pendidikan ditinjau dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama, filsafat (filsafat umum, filsafat ilmu dan filsafat pendidikan), ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan humaniora. Kajian teoritik mencakup pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sistematis, historik, nomotetik dan ideografis. Kajian sistematik berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang berdasarkan sistem. Dalam hal ini terdapat interaksi, interrelasi, dan interdependensi antar unsur-unsur pendidikan dalam satu kesatuan sistem yang utuh. Kajian historik berkenaan dengan sejarah perkembangan pendidikan dan pengaruh timbal balik antara pendidikan dengan sejarah. Kajian nomotetik berkaitan dengan hukum-hukum, prinsip-prinsip, kegunaan, dan pembiasaan dalam pendidikan. Kajian ideografis berkenaan dengan penggambaran ide-ide (gagasan), perbandingan, simbol-simbol, dan inovasi dalam pendidikan (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:9).
Ilmu pendidikan praktik mencakup ilmu pengetahuan normatif dan finalistik. Ilmu pengetahuan normatif berkaitan dengan kajian norma-norma sebagai standar yang digunakan dalam pendidikan. Ilmu pengetahuan finalistik mengkaji hasil akhir pendidikan baik dalam bentuk keluaran (output) maupun pengaruh (outcome) bagi peserta didik dan lingkungannya. Berkenaan dengan ilmu pendidikan praktik Kneller (1984) mengemukakan bahwa disamping sebagai praksis, pendidikan merupakan disiplin akademik, ia tertata dalam prosesnya, produknya, dan profesinya, yang berdasarkan pada sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu kemanusiaan (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:9-10).
Secara praktis, kajian ilmu pendidikan dapat digolongkan ke dalam (1) system yang mencakup subsistem pendidikan formal, nonformal, dan informal berikut unsur-unsurnya yaitu komponen input, process, output dan outcome; (2) pranata (institutions) yang berkedudukan sama dengan pranata lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan budaya; (3) fungsi (administrasi pendidikan, penelitian dan pengembangan pendidikan, bimbingan dan penyuluhan, serta kurikulum dan teknologi pendidikan); (4) satuan pendidikan yang mencakup satuan pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi; satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas lembaga/panti pelatihan, kursus, kelompok belajar, majelis ta’lim dan satuan pendidikan sejenis (penyuluhan, magang, bimbingan belajar, kelompok bermain, taman penitipan anak, padepokan, sanggar, kegiatan ekstra kurikuler, dan pendidikan melalui media masa); serta satuan pendidikan informal yang terdiri atas keluarga dan lingkungannya; dan (5) sebagai program studi dalam disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:10).
Ke dalam ilmu pendidikan praktik termasuk pula pendidikan terapan. Ilmu pendidikan terapan mengkaji aplikasi ilmu pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Ilmu pendidikan ini dapat disusun berdasarkan (1) usia perkembangan peserta didik, yang meliputi pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan anak-anak, pendidikan remaja, pendidikan orang dewasa dan pendidikan usia lanjut, serta (2) kebutuhan individu, kelembagaan, dan masyarakat. Ke dalam kategori ini termasuk penerapan sistem, manajemen, dan prinsip-prinsip pendidikan pada lingkungan keagamaan, pertanian, kesehatan, ketentaraan, pemerintahan, lembaga kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Keterkaitan ilmu pendidikan dengan ilmu-ilmu lainnya, Dewantara, K.H. (1962:27) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:13) menjelaskan bahwa pendidikan yang teratur bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan ilmu pendidikan. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan atau hulpwetenschappen, yang terbagi menjadi lima jenis , yaitu (a) ilmu hidup-batin manusia (ilmu jiwa, psychologie), (b) ilmu hidup jasmani (physiologie), (c) ilmu keadaban dan kesopanan (ethika atau moral), (d) ilmu keindahan atau ketertiban lahir (aesthetika), dan (e) ilmu tambo (sejarah) pendidikan (ikhtisar tentang mekanisme pendidikan).
Maka itu muncullah ahli-ahli dibidangnya masing-masing dengan teori-teori/konsep-konsep baik dari pengalaman hidup diri sendiri maupun orang lain. Sesuai dengan perkembangannya, keterkaitan ilmu pendidikan dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu humaniora adalah suatu keniscayaan dan dapat dianggap sebagai perluasan keterkaitan yang dinyatakan Bapak Pendidikan Nasional tersebut (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:14-15).
a. Ilmu pengetahuan alam, terutama biologi, fisika, dan kimia, membantu ilmu pendidikan dalam mengkaji makhluk hidup dan benda-benda alam yang terdapat dalam masukan lingkungan pendidikan. Dukungan yang mendasar diperoleh dari ilmu pengetahuan alam terhadap ilmu pendidikan berupa metode ilmiah, yaitu cara berpikir dan cara mngembangkan ilmu melalui pengamatan, nalar dan eksperimen.
b. Ilmu-ilmu sosial mendukung ilmu pendidikan dalam mengkaji aspek-aspek perilaku manusia yang terlibat dalam pendidikan, seperti individu dan kelompok serta lingkungannya (Sejarah, Antropologi dan Atropologi Sosial).
c. Ilmu ekonomi dapat membantu ilmu pendidikan dalam mempelajari cara-cara yang digunakan masyrakat untuk menyebarkan dan menggunakan sumber-sumber kehidupan yang relative terbatas kepada kelompok-kelompok yang membutuhkannya. Ilmu pendidikan dapat memanfaatkan kajian ilmu ekonomi untuk mengembangkan berbagai prinsip yang dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi.
d. Ilmu politik dapat membantu ilmu pendidikan dalam mengkaji pola-pola kekuatan, kekuasaan, dominasi, dan perangkat politik yang ada di masyarakat (kehidupan berpolitik dan Hukum yang berlaku). Dengan dukungan ilmu politik, dapat dikembangkan ilmu dan praksis pendidikan berkdasarkan kajian kehidupan berpolitik, kebijakan dan peraturan yang berlaku, aparatur pemerintah, mekanisme politik, dan kaitan antar bangsa.
e. Sosiologi membantu ilmu pendidikan dalam mengkaji kehidupan berkelompok dan proses sosialisasi, yakni cara seseorang menjadi warga suatu kelompok. Sosiologi mengkaji pula ciri-ciri alamiah manusia serta hubungan antar manusia yang dipengaruhi alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam lingkungan keluarga, esa, kota dan komunitas.
f. Psikologi membatu ilmu pendidikan dalam mempelajari aspek-aspek psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Psikologi social mengkaji aspek-aspek social individu dan bentuk-bentuk tingkah laku kelompok yang dapat menumbuhkan gerakan masyarakat sebagai respon terhadap rangsangan social. Titik berat kajian psikologi social mencakup (1) pengaruh sosial terhadap proses individual yang meliputi unsur-unsur seperti persepsi, minat, motivasi, dan proses belajar; (2) proses individual bersama seperti solidaritas dan sikap social lainnya; (3) interaksi kelompok seperti kepemimpinan, kerjasama, dan konformitas.
g. Ilmu humaniora mendukung ilmu pendidikan dalam mengkaji nilai-nilai budaya, kehidupan rohaniah manusia, pengalaman manusia yang diwujudkan dalam berbagai karya, serta berbagai hasil upaya manusia dalam menjelaskan makna hidup dan kehidupan yang pada umumnya dibantu dengan kajian agama dan filsafat.
C. Perbedaan Filsafat Pendidikan dengan Ilmu Pendidikan
Teori pendidikan yang mula-mula dikenal dalam sejarah ialah filsafat pendidikan (the philosophy of education) sebagai bagian dari system berpikir filsafat tertentu, sejajar dengan adanya penerapan ajaran agama tertentu ke dalam pendidikan. Filsafat pendidikan telah tumbuh sejak jaman Yunani klasik (dirintis Plato, Aristoteles), jaman Khilafiah Islam (filsafat islami Al-Kindi, Ibu Khaldun), jaman Skolastik (Augustinus, Aquino), jaman modern (Locke, Schopenhauer, Rousseau, Herbart), dan jaman kontemporer (Dewey, Horne, Broudy, Adler, Brameld, Sichel di Amerika, Lyotard, Derrida di Perancis, dan habermas di Jerman). Tetapi dua abad yang lalu di eropa (setelah Rousseau di abad 18 membuat temuan “konsep anak didik”, yang sesungguhnya sesuai dengan konsep islami, bahwa setiap anak bukan saja individu berukuran miniature dan bersifat individual melainkan adalah makhluk manusia yang berbeda dari orang dewasa) timbullah pendekatan developmental, yakni penerapan paedagogik atau antropologi tentang anak/Anthropologie des Kindes terhadap pendidikan anak, remaja, dan pemuda sebagai “pendidikan sejati”. Dengan demikian pada abad ke-19 timbul dualisme dalam teori pendidikan atau ilmu pendidikan antara pendekatan filosofis dan pendekatan empirik ilmiah. Pada abad ke-20 selain dualisme tersebut tumbuh pula pendekatan terpadu antara dualisme filosofik-empirik ke dalam pendekatan pedagogik, di mana ilmu mendidik dalam arti pedagogik teoritis melakukan studi sinoptik antara pendekatan empirik dilengkapi pendekatan filosofis terhadap pendidikan anak secara keseluruhan dalam tahap-tahap perkembangan anak/remaja sampai ia menjadi dewasa melalui masa transisi kewibawaan sejak masa remaja puber (pasca anak sejati/le enfant fait) (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:18).
Tetapi alternatif ilmu pendidikan amat perlu dikembangkan di Indonesia berhubung kita relatif masih allergik terhadap apa-apa yang berbau filsafat, filsafat pendidikan, ilmu mendidik/pedagogik dan lain-lain sejenisnya. Untunglah LPTK di tanah air masih tetap mengapresiasi ilmu pendidikan (pedagogik) praktis/aplikatif sekalipun tidak dilengkapi dengan ilmu teori mendasar agar mampu mendukung peningkatan mutu dari dan dalam praktek (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:21).
Terdapat dualisme fokus pendidikan, meliputi (i) aspek perkembangan progresif dari peserta didik sebagai individu, dan (ii) aspek transmisi sosio-budaya secara selektif yang semula sering amat menonjol. Adapun dualitas aspek itu menekankan segi praktis bagaimana harus bertindak, memperlakukan peserta didik dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Perbuatan praktis dan normative itu berlandasan pola piker dan penghayatan praktis perbuatan (praxis) pendidikan termasuk system nilai pendidikan di Timur, Khilafiyah Islamiyah dan Barat sampai abad ke-19 mendapat tempat lebih utama (primer) daripada landasan-landasan rasional teoritik ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pendidikan, di luar filsafat, sebagai materi pokok pembicaraan berikut ini baru bertumbuh- kembang pasca meluasnya rintisan pemikiran progressif modern Rousseau (1712-78) di Eropa abad ke-18/19 yang memprotes pendidikan tradisional dengan menonjolkan aspek perkembangan manusia sebagai individu. Pengembangan segi teoritik ilmu pendidikan di abad ke-20 seperti dalam teori ilmu pengetahuan modern umumnya bermaksud menyusun eksplanasi/eksplikasi untuk mendeskripsikan ataupun memahami gejala empiric dan latar belakangnya sebagai objek formal-materil ilmu-ilmu empirik (kealaman dan sosial) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:25-26).
Adapun ilmu pendidikan harus memenuhi persyaratan ilmu-ilmu modern sebagai jenis “kegiatan manusia dewasa ini untuk menyusun berbagai perangkat pernyataan dan pengetahuan tentang gejala rutin fenomena sejenis secara tersusun menjadi sistematik batang tubuh keilmuan mengenai objek-objek formal tertentu termasuk usaha mendapatkan, memprediksi dan mengujinya (Pearson 1938:312) secara abash (valid), deskriptif, dan konsisten (reliable) juga (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds). 2007. Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:27).
Seperti dikatakan semula perbuatan mendidik merupakan perangkat kegiatan yang dilakukan pendidik sebagai pihak ke-1 dalam relasi sarat makna/nilai dengan peserta didikdemi pemanusiaan (humanisasi) atas manusia muda (hominisasi). Pihak pendidik bukanlah sembarang orang dewasa karena ia (kelompoknya) harus berkelebihan (lebih dewasa) ketimbang peserta didik tertentu. Dalam realitas itu manusia (pendidik) memanusiakan diri dalam relasi dengan sesame manusia sebagai terdidik (peserta didik) yang dididik. Oleh karena itu pendidik dan peserta didik berada dalam kebersamaan (mendidik bersama) sebagai sesama subjek yang saling mengapresiasi (Spock 1977) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:28), bukan sebagai subjek dan objek dimana pihak ke-1 memperalat pihak lain (tidak juga melakukan pungutan, mengingat pendidik mewakili system nilai). Malahan perbuatan mendidik berarti seperangkat tindakan melindungi terdidik karena ia tidak/kurang berdaya, dengan mengapresiasi ‘pribadi’ dan potensi peserta didik yang masih muda untuk belajar mandiri melalui fasilitasi interaksinya dengan sumber-sumber belajar. Demikian tepat sekali para pendidik meresapi dan menanggapi “fungsi dan hubungan unsur-unsur ilmu pendidikan dan landasan kefilsafatan” seperti dijelaskan Pribadi (1970:5) sebagai berikut (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:28-29).
Bahan Empirik
Tentang
Pendidikan


FILSAFAT



KEYAKINAN
FILSAFAT
PENDIDIKAN


ILMU
PENDIDIKAN
TEORITIS
Perbuatan
Pendidikan
PRAKTIS












BAGAN 2. Kedudukan dan Hubungan Unsur-Unsur Ilmu Pendidikan
dan Peranan Filsafat Pendidikan








II. Landasan Ilmu Pendidikan:

A. Landasan Agama
Pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat terlepas dari pembahasan tentang manusia, bahkan manusia merupakan persoalan inti dalam proses pendidikan. Pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi pemikiran filosofis, sedang filsuf bekerja selaras dengan madzhab serta dasar pemikiran yang dianutnya (Soelaeman, 1988:27) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:39).
Implikasinya ialah bahwa (a) pendidikan memerlukan dasar pemikiran filosofis dan religius yang memberikan kerangka pandang yang holistic tentang manusia dan (b) pendidikan meletakkan manusia sebagai titik tolak (starting point) dan sebagai titik tujuan (ultimate goal)-nya. Agama menyiapkan norma hidup yang komprehensif yang melandasi tujuan pendidikan. Norma ini bersifat stabil karena berpangkal pada norma absolut, berasal dari Allah SWT. yang secara berangsur disadari manusia dalam lingkupwaktu dan tempat (Ashraf, dalam Al-Attas 1978:xii) (dalam Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:39).
Agamalah yang menyiapkan dan melahirkan tujuan pendidikan yang sangat bermakna, sebab tujuan tersebut diwahyukan kepada Rasul yang berpangkal pada tujuan diciptakannya manusia. Lahirnya berbagai teori pendidikan, berawal dari perbedaan tentang realitas manusia, apakah manusia itu secara hakiki, bahkan lebih jauh diketahui bahwa pemaknaan pendidikan berawal dari pemaknaan tentang hakekat manusia. Sekiranya pendidikan itu mengabaikan landasan agama, pendidikan akan terpusatkan pada bidang material belaka, sedangkan aspek-aspek immaterial makin tersisihkan (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:40).
Ilmu pendidikan berlandaskan agama mengandung makna bahwa agama itu menjadi sumber inspirasi untuk menyusun ilmu atau konsep-konsep pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Teori pendidikan Islam berangkat dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah, sehingga ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Rasul itu dijadikan landasan dalam keseluruhan system pendidikan (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:41).
B. Landasan Filsafat
Sejak sekitar 400 tahun yang lalu hegemoni ada di dunia barat. Memang ada juga karya filosofis non-barat seperti berasal dari Cina, India, dan negeri-negeri Timur Tengah, namun pikiran kefilsafatan ala Barat atau tukilannya punya porsi serta mendapat perhatian lebih banyak.
Filsafat pendidikan semula timbul karena pendidikan termasuk kegiatan dan perbuatan (endeavor) manusia yang dinilai sangat baik atau paling baik (bermakna virtue) sehingga perlu diteorikan secara sistematis dan baik. Pada mulanya masalah pendidikan terbatas pada pendidikan anak dan merupakan bagian dari tanggungjawab keluarga. Tetapi persoalan pendidikan semakin terkait dengan pembinaan transisi anak dari lingkungan keluarga kepada ragam lingkungan dunia kerja, sehingga berdirilah sekolah sebagai lembaga sosial yang khusus menangani pendidikan secara formal (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:18).
Filsafat pendidikan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama filsafat mengkoordinasikan hasil-hasil penemuan sains yang berlainan dan berbeda-beda, maka filsafat pendidikan menafsirkan penemuan-penemuan tersebut berkaitan dengan pendidikan.
Makna pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam arti khusus, Langeveld (dalam Sadulloh, Uyoh, 2004:54) mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Henderson (1959:44) (dalam Sadulloh, Uyoh, 2004:55-56) mengemukakan:
But to see education as a process of growth and development taking place as the result of the interaction of an individual with his environment, both physical and social, beginning at birth and lasting as long as life itself a process in which the social heritage asa a part of the social environment becomes a tool to be used toward the development of the best and most intelligent person possible, men and women who will promote human welfare, that is to see the educative process as philosophers and educational reformers conceived it.

Menurut Henderson, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan sosial merupakan bagian dari lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk pengembangan manusia yang terbaik dan inteligen, untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideologi, dan sebagainya. Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, seperti yang dikemukakan oleh Hummel (1977:39) (dalam Sadulloh, Uyoh, 2004:58-59) antara lain:
a. Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness, knowledge and ability so that they can manage their personal and collective lie to the greates possible extent.
b. Equity. Enable all citizens to participate in cultural and economic life by coffering them an equal basic education.
c. Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generations, but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realizations of common destiny.

Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga nilai tersebut di atas. Pertama, Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua Equity, berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Ketiga, Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany (1979:30) (dalam Sadulloh, Uyoh, 2004:71) adalah:
Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.

Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti: a) Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha mencapainya; b) Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan; c) Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses social; d) Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya (Sadulloh, Uyoh, 2004:71-72).
Mazhab-mazhab filsafat pendidikan yaitu: a) Idealisme; b) Realisme; c) Materialisme; d) Pragmatisme; e) Eksistensialisme; f) Progresivisme; g) Perenialisme; h) Esensialisme; i) Rekonstruksionisme (Sadulloh, Uyoh, 2004:96-171).
C. Landasan Psikologi
Psikologi memberikan konstribusi mendasar pada pendidikan, yaitu terhadap pendidikan sebagai ilmu dan sebagai praksis pendidikan. Kontribusi mendasar terhadap ilmu pendidikan, terutama dalam hal pembentukan teori, prinsip, dan konsep pendidikan. Kontribusi mendasar itu terutama dari berbagai pendekatan atau aliran psikologi seperti Psikologi Humanistik (Maslow dan Rogers), Eksistensial, Fenomenologis , Psikoanalisis (Freud dan Erikson). Kontribusi dasar psikologi terhadap praksis pendidikan terutama berkaitan dengan perkembangan dan pembelajaran peserta didik dan metode serta proses penelitian pendidikan, dari berbagai pendekatan atau aliran psikologi seperti Psikologi Kognitif (Piaget) , Sosiokultural (Vygotsky), Konstruktivisme (Vygotsky, Piaget dan Bruner), Behavioristik (Skinner, Gardner dan Kohlberg) (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:59-73).
D. Landasan Sosiologi
Sosiologi Pendidikan merupakan cabang sosiologi yang memfokuskan perhatian pada dimensi sosial dari pendidikan yang secara spesifik meliputi keterkaitan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain, interaksi antar manusia dengan system pendidikan, keterkaitan antara unit pendidikan dengan komuniti sekitaran dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik. Sosiologi Pendidikan bertolak dari perjuangan untuk memperbaiki masyarakat melalui pendidikan, kemudian berkembang kearah kajian akademik dan perbaikan praksis pendidikan. Sosiologi Pendidikan merupakan bidang pertemuan antara Sosiologi dengan Ilmu Pendidikan. Oleh karena Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan berparadigma ganda (multimodel), maka Sosiologi Pendidikan berpotensi untuk melahirkan banyak model analisis, di antaranya yang paling menonjol adalah model analisis struktural fungsional (Durkheim), konflik (Marxis) dan kritis (Lester Frank Ward), yang masing-masing bisa meliputi level makro, meso, ataupun mikro (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:77-90).
E. Landasan Antropologi
Kebinekaan merupakan unsure yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan, sehingga pendidikan itu sesuai dengan latar belakang budaya yang melandasinya. Dan dapat dilihat dari sudut pandang individu dan juga masyarakat. Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan pengembangan potensi diri yang unik, terpendam dan tersembunyi dalam diri individu, atau penggalian kekayaan individu, agar dapat dinikmati individu dan masyarakat. Dilihat dari sudut pandang masyarakat, pendidikan dipandang sebagai warisan budaya dari generasi tua ke generasi muda, agar kehidupan terus berkelanjutan dan identitas masyarakat terpelihara. Dinamika pembudayaan (enkulturisasi) perlu dipahami karena makna pendidikan dan pembudayaan menjadi baur. Ada yang memandang pendidikan sebagai bagian dari pembudayaan dan ada pula yang menyatakan sebaliknya. Cara-cara yang digunakan pendidikan dan pembudayaan menjadi baur, di antaranya persuasi, asersi dan penghalusan budi. Oleh karena itu, makna kultur, antropologi, nilai-nilai kultur yang mewarnai pendidikan serta peranan pendidikan dalam kebinekaan budaya perlu dikaji secara komprehensif (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:93-96).

F. Sains dan Teknologi
Sains merupakan pengertian umum untuk ilmu pengetahuan. Dalam naskah ini yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan alamiah (natural science), yaitu upaya untuk memahami gejala dan perilaku alam yang pada mulanya tidak atau belum diketahui makna dan prosesnya. Isi sains alamiah adalah temuan dan hasil analisis tentang berbagai gejala yang berupa deskripsi dari pola perilaku alam dalam bentuk konsep, hukum, asas dan prinsip yang bermuara pada temuan kerangka berpikir. Tujuan sains alamiah adalah mencari pola, keteraturan, system dan struktur fakta atau pengalaman tentang perilaku alam. Dari temuan mengenai konsep-konsep, dapat dilakukan klasifikasi, mengurutkan, menyederhanakan dan mengisolasi untuk mencari pola dan hubungan-hubungan. Dalam eksperimen observasi variable dilakukan dengan mengendalikan variable yang diteliti. Konstribusi sains alamiah terhadap Ilmu Pendidikan lebih menyangkut prosedur sains atau metode ilmiah ketimbang isinya. Konstribusi yang lebih nyata adalah pemanfaatan teknologi sebagai bagian dari sains ilmiah dalam membantu proses pengembangan dan pelaksanaan praksis pendidikan (Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds), 2007:97-101).
















DAFTAR PUSTAKA



Natawidjaja, Rochman., Sukmadinata, Nana Syaodih., Ibrahim, R., dan Djohar, As’ari (Eds). 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia Press

Pascasarjana Unesa. 2008. Buku Pedoman Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya

Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan (Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional Pengembangan Afeksi dan Budaya Pancasila Mengurangi Lulusan Menganggur). Surabaya : Unesa University Press

Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : CV. Alfabeta